Senin, 29 November 2010

HPP part2

5.) Hukum Perikatan dalam jasa kontruksi, cari contoh kontrak kerja bidang konstruksi (bahas perjanjian dan sangsi yang diberikan bila terjadi pelanggarandalam kontrak kerja tersebut)?
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain karena perbuatan,peristiwa atau keadaan. Salah satu bentuk dari hukum perikatan adalah kontrak kerja.
Agar pihak pemberi tugas dan pelaksana tugas tidak ada yang merasa dirugikan dan puas akan pekerjaan tsb maka perlu dibuat suatu kontrak kerja sehingga masing-masing pihak dapat menyadari,memahami dan melaksanakan kewajibannya serta mengetahui apa-apa saja yang menjadi haknya dan apabila salah satu pihak merasa dirugikan karena terdapat hal - hal yang tidak dilaksanakan pihak lainnya,yang sudah tercantum dalam kontrak kerja, maka pihak tersebut dapat memberikan sanksi kepada pihak lainnya yang telah disepakati bersama, dapat pula menuntutnya ke pengadilan.
Contoh :
KONTRAK PELAKSANAAN PEKERJAAN PEMBANGUNAN STADION

antara

CV. GUNNERS

dengan

PT. GOONERS
Nomor      : 1/1/2010
Tanggal    : 20 November 2010

Pada hari ini Senin tanggal 20 November 2010 kami yang bertandatangan di bawah ini      :
nama       : Cesc Fabregas
alamat     : jl. x no 4 jakarta selatan
no.telepon : 087087087
jabatan    :
dalam hal ini bertindak atas nama CV. GUNNERS dan selanjutnya disebut sebagai pihak pertama
dan
nama      : Westi
alamat     : jl.xx no 10 Jakarta selatan
no telepon : 088088088
jabatan    :
dalam hal ini bertindak atas nama PT. GOONERS dan selanjutnya disebut sebagai pihak kedua.


Kedua belah pihak telah sepakat untuk mengadakan ikatank ontrak pelaksanaan pekerjaan pembangunan stadion yang dimiliki oleh pihak kedua yang terletak di jl xxx no 8 Jakarta selatan.
Pihak pertama bersedia untuk melaksanakan pekerjaan pembangunan yang pembiayaannya ditanggung oleh pihak kedua dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal-pasal berikut ini :


Setelah itu akan dicantumkan pasal - pasal yang menjelaskan tentang tujuan kontrak,bentuk pekerjaan,sistem pekerjaan,sistem pembayaran,jangka waktu pengerjaan,sanksi-sanksi yang akan dikenakan apabila salah satu pihak melakukan pelanggaran kontrak kerja,dsb.

HUKUM JASA KONSTRUKSI

A. LATAR BELAKANG
Konstruksi merupakan suatu kegiatan yang melibatkan/ menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat Kegiatan konstruksi :
·         Risiko tinggi (tidak pasti, mahal, berbahaya)
·         Transaksi ekonomi dan jasa pelayanan
·         Kontrak Pekerjaan Konstruksi merupakan landasan penting dalam setiap kegiatan/aktivitas konstruksi

B. LANDASAN HUKUM
Kontrak (termasuk kontrak pekerjaan konstruksi) merupakan bentuk kesepakatan yang termasuk dalam hukum PERJANJIAN. Bentuk perjanjian mulai dari yang sederhana hingga kompleks. Secara formal diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPT)

C. PERJANJIAN DAN PERIKATAN
Perjanjian adalah peristiwa dimana seseorang berjanji pada orang lain, atau dua orang saling berjanji yang mengkibatkan timbulnya Perikatan. Perikatan adalah suatu Hubungan Hukum antara dua pihak (Kreditur berhak menuntut dan Debitur berkewajiban memenuhi tuntutan). Perjanjian atau Persetujuan tertulis disebut KONTRAK. Tujuan kontrak adalah sebagai berikut :
·         Timbulnya Perikatan:
·         Suatu perjanjian: dengan ada tanpa tanggungjawab
·         Undang-undang
·         Kesusilaan (misalnya : ikatan adat)
·         Perjanjian bersifat positif, yaitu ada kesepakatan berbuat/menghasilkan sesuatu.
·         Perjanjian bersifat negatif, yaitu ada kesepakatan untuk tidak berbuat sesuatu.

1. Obyek Perikatan
Obyek perikatan harus tertentu dan dapat ditentukan. Untuk tipe kontrak Lumpsum, obyek tertentu, sedangkan untuk tipe kontrak Unit Price, obyek ditentukan kemudian. Obyek perikatan harus sah dan diperkenankan oleh peraturan/ undang-undang. Prestasinya dimungkinkan untuk dilaksanakan (secara objektif)

2. Subyek Perikatan
Subyek perikatan melibatkan dua orang (badan hukum) atau lebih. Satu pihak berkewajiban atas prestasi dan pihak lain berhak atas prestasi. Ada bentuk perikatan yang menyangkut pihak ketiga (contoh: user, jaminan pihak ketiga)

3. Sistem dan Azas Perjanjian
Sistem perjanjian merupakan sistem Terbuka, dimana yang membuat kesepakatan/perjanjian bebas mengabaikan ketentuan hukum perdata asal memenuhi syarat sah perjanjian. Pihak yang mengadakan perjanjian dapat membuat aturan sendiri. Semua persetujuan yang dibuat secara sah menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Azas perrjanjian adalah Azas Konsensualisme. Perjanjian berlaku sejak detik dicapai kesepakatan. Perjanjian sah jika hal-hal pokok telah disepakati.

4. Syarat-syarat Sah Suatu Perjanjian
Syarat-syarat sah suatu perjanjian adalah :
·         Azas Konsensualisme dalam KUHPT
·         Sepakat untuk mengikat diri
·         Cakap dalam membuat perjanjian
·         Menyangkut hal tertentu
·         Disebabkan oleh sesuatu yang halal

Dengan kata lain, dipenuhi:
Syarat subyekif
·         Tidak ada paksaan (sukarela)
·         Subyek mempunyai kapasitas membuat perjanjian
·         Syarat obyektif
·         Obyek perjanjian tertentu
·         Kausanya legal atau tidak bertentangan dengan hukum
·         Perjanjian di bawah tangan membutuhkan akta notaris untuk memperoleh kekuatan hukum, dan kelak untuk pembuktian bila disangkal oleh salah satu pihak

5. Batalnya suatu Perjanjian
Suatu perjajian batal demi hukum bila salah satu atau kedua syarat obyektif tidak dipenuhi. Perjanjian dapat diminta untuk dibatalkan bila kedua syarat Subyektif tidak terpenuhi. Batas waktu permintaan pembatalan adalah 5 tahun (BW ps 1454), terhitung:
·         Sejak orang menjadi cakap hukum
·         Sejak hari paksaan telah berhenti
·         Sejak saat/hari diketahui adanya kekhilafan atau penipuan

6. Pelaksanaan Perjanjian
Pelaksanaan perjanjian berisi :
·         Hal tidak menepati Janji dalam Pelaksanaan Perjanjian
·         Jika debitur tidak dapat menepati janji, maka dikuasakan pada hakim untuk mewujudkan:
·         Perjanjian untuk memberikan sesuatu
·         Perjanjian untuk berbuat sesuatu
·         Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
·         Hal undang-undang, Adat kebiasaan dan Kapatuhan pada Pelaksanaan Perjanjian
·         Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi harus memuat/ dilengkapi peraturan yang terdapat dalam undang-undang, adat kebiasaan setempat
·         Hal itikad baik pada pelaksanaan perjanjian

Suatu perjanjian harus memenuhi:
·         Persyaratan atau tuntutan kepastian hukum (menjamin kepastian)
·         Dilaksanakan dengan itikad baik (memenuhi tuntutan keadilan)

7. Wanprestasi
Hal-halyang diatur dalam wanprestasi :
·         Hal tidak menepati Janji dalam Pelaksanaan Perjanjian
·         Jika debitur tidak dapat menepati janji, maka dikuasakan pada hakim untuk mewujudkan:
·         Perjanjian untuk memberikan sesuatu
·         Perjanjian untuk berbuat sesuatu
·         Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
·         Hal undang-undang, Adat kebiasaan dan Kapatuhan pada Pelaksanaan Perjanjian
·         Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi harus memuat/dilengkapi peraturan yang terdapat dalam undang-undang, adat kebiasaan setempat
·         Hal itikad baik pada pelaksanaan perjanjian

Suatu perjanjian harus memenuhi:
·         Persyaratan atau tuntutan kepastian hukum (menjamin kepastian)
·         Dilaksanakan dengan itikad baik (memenuhi tuntutan keadilan)

8. Ganti Rugi
Pengertian ganti rugi mencakup 3 hal:
1. Biaya adalah segala perongkosan atau pengeluaran yang nyata-nyata telah dikeluarkan (real/actual expense)
2. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang (property) milik kreditur akibat kelalaian debitur
3. Bunga adalah kerugian berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan/diperhitungkan oleh kreditur
·         Ganti rugi yang dapat dituntut oleh Kreditur
·         Rugi yang betul-betul diderita oleh kreditur
·         Keuntungan yang hilang, yang semestinya diperoleh kreditur
·         Penetapan Bunga
·         Ditetapkan dalam perjanjian
·         Bila tidak ditetapkan, maka diberlakukan tingkat suku bunga yang ditetapkan oleh undang-undang
·         Sebesar bunga deposito pada bank pemerintah

9. Pembatalan Perjanjian
·         Sanksi hukum bagi debitur yang lalai/gagal memenuhi perjanjian
·         Pembatalan bertujuan untuk membawa kedua pihak kembali ke keadaan sebelum terjadi perjanjian
·         Status pembatalan – ditentukan melalui pengadilan (keputusan hakim), mediasi, negosiasi

10. Peralihan Risiko
Peralihan risiko merupakan sanksi hukum bagi debitur yang lala/gagal memenuhi perjanjian (wanprestasi).
Problematika:
·         Bagaimana dengan status kepemilikan dan tanggungjawab terhadap obyek perjanjian?
·         Dialihkan pada pihak ketiga
·         Bagaimana mekanisme dan konsekuensi hukumnya?

11. Force Majeur (keadaan memaksa)
Debitur dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi bila terkena keadaan memaksa yang membuatnya tidak mungkin untuk melaksanakan prestasi yang diperjanjikan.
Keadaan memaksa:
·         Terjadi setelah dibuatnya perjanjian/perikatan
·         Terjadi pada debitur
·         Terjadinya tidak terduga
·         Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur
·         Tidak sengaja
·         Tidak ada itikad buruk dari debitur
Teori Obyektif : Keadaan memaksa harus mempunyai ketidakmungkinan mutlak;
bagi setiap orang tidak mungkin melaksanakan prestasi tersebut Teori Subyektif : Keadaan memaksa harus mempunyai ketidakmungkinan yang tak mutlak; debitur masih dapat melaksanakan prestasi tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar sehingga tidak selayaknya kreditur menuntut pemenuhan prestasi

12. Interpretasi Perjanjian  
Tujuan dari interpretasi perjanjian adalah untuk memberikan keyakinan dan penegakan (kepastian) maksud (interest) dari pihak-pihak yang berjanji pada saat perikatan. Merupakan hal yang tidak mungkin untuk mengetahui apa yang ada dibenak pihak-pihak yang saling berjanji pada saat perikatan Pemahaman/pengertian (interpretasi) dilandaskan pada arti logis yang layak dari bahasa perjanjian

13. Kontrak Konstruksi
Pada dasarnya kedudukan para pelaku perjanjian (pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian) adalah sama. Dalam perjanjian konstruksi banyak hal yang lebih rumit daripada perjanjian (transaksi usaha) biasa Perlu pemahaman yang mendalam terhadap konsep, fungsi dan makna kontrak konstruksi



6.) Hukum Perburuan (Hak&Kewajiban pekerja/karyawan, Hak& kewajiban pengusaha/perusahaan)?
PERJANJIAN KERJA
DAN PERJANJIAN PERBURUHAN
PERJANJIAN KERJA
Yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu (pekerja) mengikat diri untuk bekerja pada pihak yang lain (pengusaha), selama waktu tertentu dengan menerima upah (pasal 1601 huruf a KUH Perdata). Pembuatan Perjanjian Kerja biasanya didahului dengan masa percobaan. Namun demikian apabila pengusaha atau manajer menilai bahwa calon karyawan tidak perlu melalui masa percobaan, dapat pula suatu perjanjian tanpa didahului dengan masa percobaan ini.
Perjanjian Kerja harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Ada Orang Dibawah Pimpinan Orang Lain
Dalam konteks ini berarti ada pimpinan dan ada orang yang dipimpin. Pimpinan mempunyai wewenang untuk mengatur dan memerintah orang yang dipimpinnya. Pemimpin disini dapat manajer atau pengusahanya sendiri, sedang orang yang dipimpin adalah pekerjanya.
2. Penunaian Kerja
Perjanjian Kerja mengandung unsur penunaian kerja, dimana satu pihak akan menunaikan atau melaksanakan kerja dari pihak lain. Yang tersangkut dalam Perjanjian Kerja adalah manusianya yang akan menunaikan/ melaksanakan kerja tersebut.
3. Jangka Waktu
Bahwa terikatnya seorang pekerja dalam Perjanjian Kerja mempunyai jangka waktu. Jangka waktu Perjanjian Kerja dibedakan menjadi dua, yaitu jangka waktu tertentu dan jangka waktu tidak tertentu. Perjanjian Kerja jangka waktu tertentu atau Perjanjian Kerja untuk karyawan kontrak biasanya satu tahun, dapat diperpanjang satu kali lagi. Dan dalam keadaan tertentu merupakan Perjanjian Kerja untuk karyawan tetap, akan berakhir apabila terjadi PHK, baik karena pensiun, mengundurkan diri, dipecat, atau meninggal dunia.
4. Ada Upah
Yang dimaksud dengan upah yaitu suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada buruh untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang, yang ditetapkan menurut suatu persetujuan atau peraturan perundang-undangan, dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dan buruh, termasuk tunjangan baik untuk buruh sendiri maupun keluarganya
Jenis Perjanjian Kerja
1) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Menurut pasal 1603 huruf e ayat 1 KHU Perdata, Perjanjian Kerja waktu tertentu yaitu hubungan kerja berakhir demi hukum jika habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian atau peraturan-peraturan atau dalam peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu tidak ada, menurut kebiasaan yang berlaku. Dari pengertian diatas, perjanjian kerja waktu tertentu dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :

a) Perjanjian kerja waktu tertentu dimana waktu berlakunya ditentukan menurut perjanjian, misalnya satu (1) tahun. Perjanjian kerja ini pada umumnya diberlakukan untuk karyawan kontrak, dengan jangka waktu sepanjang kontrak tersebut.

b) Perjanjian Kerja waktu tertentu dimana waktu berlakunya didasarkan atas kebiasaan. Misalnya untuk suatu proyek pembuatan jalan dan pemetik kopi, untuk kedua pekerjaan ini Perjanjian Kerja dianggap berakhir, ketika pekerjaan dinyatakan selesai.

c) Perjanjian Kerja waktu tertentu dimana waktu berlakunya menurut Undang-undang. Misalnya untuk perusahaan yang mempekerjakan tenaga asing, maka jangka waktu Perjanjian Kerja sesuai dengan ketentuan tentang penempatan tenaga asing.

2) Perjanjian Menurut Waktu Tidak Tertentu
Menurut pasal 1603 huruf g ayat (1) KUH Perdata Perjanjian Kerja waktu yang tidak tertentu adalah Perjajian Kerja dimana waktu lamanya hubungan kerja tidak ditentukan baik dalam perjanjian atau peraturan majikan, dalam peraturan perundang-undangan ataupun menurut kebiasaan. Pada umumnya perjanjian kerja waktu tidak tertentu ini diberlakukan untuk karyawan tetap. Masa berakhirnya perjanjian kerja adalah apabila terjadi PHK baik karena meninggal, menundurkan diri, pensiun, atau pemecatan.
Isi Perjanjian Kerja
Secara rinci Isi Perjanjian Kerja akan memuat:

1) Nama dan alamat pengusaha/perusahaan

2) Nama, alamat, umur, dan jenis kelamin pekerja

3) Jabatan atau jenis/macam pekerjaan

4) Besarnya upah serta cara pembayarannya

5) Hak dan kewajiban pekerja

6) Hak dan kewajiban pengusaha

7) Syarat-syarat kerja

8) Jangka waktu berlakunya perjanjian

9) Tempat dan lokasi kerja

10) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat dan tanggal mulai berlaku.

Penggunaan Perjanjian Kerja
Penggunaan Perjanjian Kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan atau digunakan untuk pekerjaan tertentu yang menurut sifat, jenis, atau kegiatannya akan selesai dalam waktu tertentu, seperti :

a) Yang sekali selesai atau sifatnya sementara.

b) Yang diperkirakan untuk jangka waktu yang terlalu lama akan selesai.

c) Yang bersifat musiman atau yang berulang kembali.

d) Yang bukan merupakan kegiatan pokok suatu perusahaan atau hanya merupakan penunjang.

e) Yang berhubungan dengan produk baru, atau kegiatan baru, atau tambahan yang masih dalam percobaan atau penjagaan

Bagi Perjanjian Kerja waktu tidak tertentu dapat diadakan untuk semua pekerjaan tidak membedakan sifat, jenis, dan kegiatannya.
Pelanggaran Perjanjian Kerja
Mengenai perjanjian kerja, maka baik pengusaha maupun pekerja dapat melakukan wansprestasi atau pelanggaran hukum terhadap isi pejanjian yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu pihak yang melakukan wansprestasi ataupun pelanggaran hukum dapat diminta untuk membayar ganti rugi. Hal ini diatur dalam pasal 1601 KUH Perdata sebagai berikut.

a) Pihak pengusaha tidak menepati ketentuan tentang pengupahan atau tidak memberikan pekerjaan kepada pekerjaan sesuai dengan pekerjaan yang telah disepakatinya, pekerja dapat menuntut ganti rugi kerugian kepada pengusaha.

b) Pihak pekerja melalaikan ketentuan-ketentuan kerja dan atau tidak mau dipekerjakan pada bidang yang telah disepakati, sehingga akibat perbuatannya menimbulkan kerugian pada proses produksi yang tengah dilangsungkan, pengusaha dapat menuntut ganti rugi.

c) Jika salah satu pihak (pekerja atau pengusaha) dengan sangaja atau kesalahannya berbuat berlawanan dengan salah satu kewajibannya, dan kerugian yang diderita oleh pihak lainnya tidak dapat dinilaikan dengan uang, pengadilan akan menetapkan sejumlah uang menurut keadilan sebagai ganti rugi.

d) Jika pengusaha telah menjanjikan suatu rugi dari pekerja, apabila pekerja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perjanjian, pengadilan berwenang menentukan ganti rugi yang sepantasnya.


PERJANJIAN PERBURUHAN
Pengertian Perjanjian Perburuhan menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 Perjanjian Perburuhan merupakan perjanjian yang diselenggarakan oleh serikat pekerja yang telah didaftarkan pada Kementrian Perburuhan (sekarang Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi) dengan majikan, majikan-majikan, atau perkumpulan majikan yang berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat syarat-syarat kerja yang harus diperhatikan di dalam Perjanjian Kerja.
Perjanjian Perburuhan juga disebut dengan istilah Kesepakatan Kerja Bersama (KKB), hal ini dapat dilihat dari pasal 1 huruf a Peraturan Menteri Tenaga Kerja Per-01/men/1985 yang menyatakan bahwa Kesepakatan Kerja Besama (KKB) adalah Perjanjian Perburuhan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 1954. Dalam prakteknya Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) ini juga disebut dengan Perjanjian Kerja Bersama (KKB).
Oleh karena memuat syarat-syarat kerja yang harus diperhatikan dalam membuat Perjanjian Kerja, maka Perjanjian Perburuhan merupakan induk dari perjanjian Kerja. Karena sebagai induk dari Perjanjian Kerja, apabila ada pertentangan antara penjanjian kerja dengan perjanjian induk, maka yang berlaku atau yang dianggap sah adalah Perjanjian Perburuhan. Hal-hal yang dianggap tidak sah dapat diajukan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam Perjanjian Perburuhan, yakni oleh serikat pekerja ataupun oleh pengusaha. Dalam hal ini pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan sendiri perkaranya ke pengadilan.
Apabila dalam Perjanjian Kerja tidak memuat aturan-aturan atau syarat-syarat kerja yang ditetapkan di dalam Perjanjian Perburuhan, maka berlaku aturan atau syarat-syarat kerja dalam Perjanjian Perburuhan itu. Namun sebaliknya, apabila dalam Perjanjian Kerja memuat aturan dan syarat-syarat kerja tertentu, yang dalam Perjanjian Perburuhan tidak ada, maka aturan dan syarat yang ada dalam Perjanjian Kerja itu batal atau tidak berlaku lagi.
Isi Perjanjian Perburuhan
Kalau ditinjau dari fungsinya sebagai induk dari Perjanjian Kerja, maka perjanjian Perburuhan ini pada umumnya mempunyai cakupan atau isi yang lebih luas dibanding Perjanjian Kerja. Secara umum isi Perjanjian Perburuhan akan menyangkut dua hal, yaitu syarat-syarat materiil dan syarat-syarat formil.
1) Syarat Materiil
Dalam perjanjian dikenal adanya asas kebebasan berkontrak, artinya bahwa para pihak bebas memutuskan isi dari perjanjian. Dalam Perjanjian Perburuhan adanya asas kebebasan berkontrak dinyatakan dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 21 tahun 1954 yang berbunyi : Suatu Perjanjian Perburuhan tidak ada gunanya dan tidak ada tempatnya jika segala sesuatu ditentukan dan ditetapkan oleh pemerintah saja.
Namun demikian asas kebebasan berkontrak dalam membuat Perjanjian Perburuhan dibatasi dengan syarat-syarat materiil sebagai berikut :

a) Hanya di dalam lingkungan yang ada pemerintah dianggap layak. Berarti tidak semua tempat kerja dapat membuat Perjanjian Perburuhan.

b) Tidak boleh memuat sesuatu aturan yang mewajibkan seorang pengusaha hanya menerima atau menolak pekerja atau mewajibkan seorang pekerja supaya hanya bekerja atau tidak bekerja pada pengusaha dari suatu golongan, baik berkenaan dengan agama, golongan warga negara atau bangsa, maupun karena keyanikan politik atau anggota suatu perkumpulan. Hal ini untuk menghindari timbulnya monopolistic baik oleh pekerja maupun pengusaha.

2) Syarat-syarat formil
Perjanjian Perburuhan diatur dalam PP No 49 th 1954, sbb :
a. Perjanjian Perburuhan harus tertulis, dalam bentuk akta resmi (disahkan pejabat berwenang) atau akta di bawah tangan (hanya ditandatangani pekerja dan pengusaha)
b. Harus memuat:
- Nama, tempat kedudukan, alamat serikat pekerja
- Pengusaha
- Nomor dan tanggal pendaftaran P pada Depnaker
c. Dibubuhi tanggal tanda tangan kedua belah pihak
d. Minimal rangkap tiga

Hak dan Kewajiban Hukum yang diatur oleh Hukum Perburuhan meliputi :
1.Hak dan Kewajiban Buruh, misalnya : menerima ganti rugi kecelakaan kerja dan wajib mengenakan alat – alat keselamatan kerja.
2.Hak dan Kewajiban Organisasi Perburuhan, mislanya : hak berunding (negosiasi) dan memelihara kedamaian.
3.Hak dan Kewajiban pengusaha, misalnya : memperoleh hasil pekerjaan buruh dan wajib membayar upah buruh.
4.Hak dan Kewajiban Pemerintah, misalnya : memaksakan kepada pengusahauntuk meminta izin pemutusan hubungan kerja terhadap buruhnya dan wajib mengawasi pelaksanaan peraturan perundang – undangan perburuhan yang berlaku.





Sabtu, 30 Oktober 2010

UU NO.4 TAHUN 1992

4. Untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dilaksanakan pembangunan nasional, yang pada hakikatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila. 
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan penghidupan masyarakat. 
Perumahan dan permukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati dirinya.
Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam pembangunan dan pemilihan setiap pembangunan rumah hanya dapat dilakukan di atas tanah yang dimiliki berdasarkan hak-hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. 
Sistem penyediaan tanah untuk perumahan dan permukiman harus ditangani secara nasional karena tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat bertambah akan tetapi harus digunakan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat. Proses penyediaannya harus dikelola dan dikendalikan oleh pemerintah agar supaya penggunaan dan pemanfaatannya dapat menjangkau masyarakat secara adil dan merata tanpa menimbulkan kesenjangan ekonomi dan sosial dalam proses bermukimnya masyarakat.
Untuk mewujudkan perumahan dan permukiman dalam rangka memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah dan panjang dan sedang dengan rencana tata ruang, suatu wilayah permukiman ditetapkan sebagai kawasan siap bangun yang dilengkapi jaringan prasarana primer dan sekunder lingkungan.
Penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman mendorong dan memperkukuh demokrasi ekonomi serta memberikan kesempatan yang sama dan saling menunjang antara badan usaha negara, koperasi, dan swasta berdasarkan asas kekeluargaan. 
Pembangunan di bidang perumahan dan permukiman yang bertumpu pada masyarakat memberikan hak dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan serta.
Disamping usaha peningkatan pembangunan perumahan dan permukiman perlu diwujudkan adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.
Sejalan dengan peran serta masyarakat di dalam pembangunan perumahan dan permukiman, pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk melakukan pembinaan dalam wujud pengaturan dan pembimbingan, pendidikan dan pelatihan, pemberian bantuan dan kemudahan, penelitian dan pengembangan yang meliputi berbagai aspek terkait antara lain tata ruang, pertanahan, prasarana lingkungan, industri bahan dan komponen, jasa konstruksi dan rancang bangun, pembiayaan, kelembagaan, sumber daya manusia serta peraturan perundang-undangan.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menjamin perlindungan hak-hak atas tanah yang dimiliki pemilik tanah, dalam pelepasan hak atas tanah didasarkan pada asas kesepakatan, memberikan landasan bagi setiap kegiatan pembangunan di bidang perumahan dan permukiman untuk terjaminnya kepastian dan ketertiban hukum tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah memberikan landasan bagi pembangunan perumahan dan permukiman yang pada hakikatnya sangat kompleks dan bersifat multi dimensional serta multisektoral, perlu ditangani secara terpadu melalui koordinasi yang berjenjang di setiap tingkat pemerintah serta harus sesuai dengan tata ruang.
Disamping itu, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, juga memberikan landasan bagi pembinaan perangkat kelembagaan di daerah dalam rangka penyerahan urusan pemerintahan di daerah dengan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada daerah tingkat II.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, memberikan landasan bagi pembinaan penyuluhan kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman di daerah perdesaan dalam rangka mendorong dan menggerakkan usaha bersama masyarakat secara swadaya.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok pengelolaan lingkungan hidup memberikan landasan bagi kewajiban melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan perumahan dan permukiman, sejalan dengan kewajiban setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan pembangunan rumah atau perumahan untuk memenuhi persyaratan teknis, ekologis, dan administratif.
Guna menjawab tuntutan kebutuhan perumahan dan permukiman pada masa kini dan masa yang akan datang, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2611) sudah tidak sesuai. Sehubungan dengan itu, maka dipandang perlu untuk mengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1964 tersebut dengan Undang-undang baru tentang Perumahan dan Permukiman.

contoh aplikasi :
v  jaringan jalan untuk mobilitas manusia dan angkutan barang, mencegah perambatan kebakaran serta untuk menciptakan ruang dan bangunan yang teratur
v  jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah untuk kesehatan lingkungan
v   jaringan saluran air hujan untuk pematusan (drainase) dan pencegahan banjir setempat.
v  Adanya bangunan perniagaan atau perbelanjaan yang tidak mencemari lingkungan
v  Adanya bangunan pelayanan umum dan pemerintahan, pendidikan dan kesehatan, peribadatan, rekreasi dan olah raga, pemakaman, dan pertamanan.
v  Terdapat jaringan utilitas umum seperti: jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan gas, jaringan transportasi, dan pemadam kebakaran