Sabtu, 30 Oktober 2010

PERATURAN TENTANG TATA KOTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2008
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang  :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

Mengingat:1.Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik IndonesiaNomor 4725);
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :  PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG
WILAYAH NASIONAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.  Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang selanjutnya disebut RTRWN adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara.
2. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
3. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
4. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
5. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
6. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek
fungsional.
7. Wilayah nasional adalah seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
8. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.
9. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
10. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan
sumber daya buatan.
11. Kawasan andalan adalah bagian dari kawasan budi daya, baik di ruang darat maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya.
12. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
13. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
14. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
15. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di
sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
16. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.
17. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara,
pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
18. Kawasan pertahanan negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
19. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa
provinsi.
20. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
21. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
22. Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut PKSN adalah kawasan perkotaan yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara.
23. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
24. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
25. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
26 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya disebut ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan
undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur
dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
27. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.
28. Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
29. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang penataan ruang.
30. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
31. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI
PENATAAN RUANG WILAYAH NASIONAL

Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang Wilayah Nasional

Pasal 2
Penataan ruang wilayah nasional bertujuan untuk mewujudkan:
a. ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
b.  keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
c.  keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
d.  keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
e. keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota dalam rangka pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang;
f. pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat;
g.  keseimbangan dan keserasian perkembangan antarwilayah;
h.  keseimbangan dan keserasian kegiatan antarsektor; dan
i.  pertahanan dan keamanan negara yang dinamis serta integrasi nasional.

Pasal 3
RTRWN menjadi pedoman untuk:
a.  penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
d. pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
g. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.




Bagian Kedua
Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Nasional

Pasal 4
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah nasional meliputi kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang.

Pasal 5
(1) Kebijakan pengembangan struktur ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi:
a.peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhierarki; dan
b.peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah nasional.
(2) Strategi untuk peningkatan akses pelayanan perkotaan dan
pusat pertumbuhan ekonomi wilayah  meliputi:
a.menjaga keterkaitan antarkawasan perkotaan, antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan, serta antara kawasan perkotaan dan wilayah di sekitarnya;
b.mengembangkan pusat pertumbuhan baru di kawasan yang belum terlayani oleh pusat pertumbuhan;
c.mengendalikan perkembangan kota-kota pantai; dan
d.mendorong kawasan perkotaan dan pusat pertumbuhan agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam pengembangan wilayah di sekitarnya.
(3) Strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana meliputi:
a.meningkatkan kualitas jaringan prasarana dan mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut, dan udara;
b.mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi terutama di kawasan terisolasi;
c.meningkatkan jaringan energi untuk memanfaatkan energy terbarukan dan tak terbarukan secara optimal serta mewujudkan keterpaduan sistem penyediaan tenaga listrik;
d.meningkatkan kualitas jaringan prasarana serta mewujudkan keterpaduan sistem jaringan sumber daya air; dan
e.meningkatkan jaringan transmisi dan distribusi minyak dan gas bumi, serta mewujudkan sistem jaringan pipa minyak dan gas bumi nasional yang optimal.

Pasal 6
Kebijakan dan strategi pengembangan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi:
a.kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung;
b.kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budi daya; dan
c.kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis nasional.

Pasal 7
(1)Kebijakan pengembangan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a meliputi:
a.pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
b.pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan  lingkungan hidup.
(2)Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup meliputi:
a.menetapkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi;
b.mewujudkan kawasan berfungsi lindung dalam satu wilayah pulau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas pulau tersebut sesuai dengan kondisi ekosistemnya; dan
c.mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah.
(3)Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi:
a.menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup;
b.melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
c.melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
d.mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
e.mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
f.mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya; dan
g.mengembangkan kegiatan budidaya yang mempunyai daya adaptasi bencana di kawasan rawan bencana.

Pasal 8
(1)Kebijakan pengembangan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal  6 huruf b meliputi:
a.perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budi daya; dan
b.pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan.
(2) Strategi untuk perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budi daya meliputi:
a.menetapkan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional untuk pemanfaatan sumber daya alam di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah;
b.mengembangkan kegiatan budi daya unggulan di dalam kawasan beserta prasarana secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian kawasan dan wilayah sekitarnya;
c.mengembangkan kegiatan budi daya untuk menunjang aspek politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi;
d.mengembangkan dan melestarikan kawasan budi daya pertanian pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional;
e.mengembangkan pulau-pulau kecil dengan pendekatan gugus pulau untuk meningkatkan daya saing dan mewujudkan skala ekonomi; dan
f.mengembangkan kegiatan pengelolaan sumber daya kelautan yang bernilai ekonomi tinggi di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, dan/atau landas kontinen untuk meningkatkan perekonomian nasional.
(3)Strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan budi
daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan meliputi:
a.membatasi perkembangan kegiatan budi daya terbangun di kawasan rawan bencana untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana;
b.mengembangkan perkotaan metropolitan dan kota besar dengan mengoptimalkan pemanfaaatan ruang secara vertikal dan kompak;
c.mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas kawasan nperkotaan; dan
d.membatasi perkembangan kawasan terbangun di kawasan perkotaan besar dan metropolitan untuk mempertahankan tingkat pelayanan prasarana dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan di sekitarnya.
e.mengembangkan kegiatan budidaya yang dapat mempertahankan keberadaan pulau-pulau kecil.

Pasal 9
(1)Kebijakan pengembangan kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c meliputi:
a.pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya nasional;
b.peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara;
c.pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian internasional;
d.pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
e.pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa;
f.pelestarian dan peningkatan nilai kawasan lindung yang ditetapkan sebagai warisan dunia, cagar biosfer, dan ramsar; dan
g.pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antarkawasan.
(2)Strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi:
a.menetapkan kawasan strategis nasional berfungsi lindung;
b.mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;
c.membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis nasional yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;
d.membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional yang dapat memicu perkembangan kegiatan budi daya;
e.mengembangkan kegiatan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budi daya terbangun; dan
f.merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional.
(3)Strategi untuk peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara meliputi:
a.menetapkan kawasan strategis nasional dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan;
b.mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan; dan
c.mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budi
daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis nasional sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan strategis nasional dengan kawasan budi daya terbangun.
(4)Strategi untuk pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional meliputi:
a.mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan kegiatan budi daya unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah;
b.menciptakan iklim investasi yang kondusif;
c.mengelola pemanfaatan sumber daya alam agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan
d.mengelola dampak negatif kegiatan budi daya agar tidak menurunkan kualitas lingkungan hidup dan efisiensi kawasan;
e.mengintensifkan promosi peluang investasi; dan
f.meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi.
(5)Strategi untuk pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi secara optimal meliputi:
a.mengembangkan kegiatan penunjang dan/atau kegiatan turunan dari pemanfaatan sumber daya dan/atau teknologi tinggi;
b.meningkatkan keterkaitan kegiatan pemanfaatan sumber daya dan/atau teknologi tinggi dengan kegiatan penunjang dan/atau turunannya; dan
c.mencegah dampak negatif pemanfaatan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi terhadap fungsi lingkungan hidup, dan keselamatan masyarakat.
(6)Strategi untuk pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa meliputi:
a.meningkatkan kecintaan masyarakat akan nilai budaya yang mencerminkan jati diri bangsa yang berbudi luhur;
b.mengembangkan penerapan nilai budaya bangsa dalam kehidupan masyarakat; dan
c.melestarikan situs warisan budaya bangsa.
(7)Strategi untuk pelestarian dan peningkatan nilai kawasan yang ditetapkan sebagai warisan dunia meliputi:
a.melestarikan keaslian fisik serta mempertahankan keseimbangan ekosistemnya;
b.meningkatkan kepariwisataan nasional;
c.mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
d.melestarikan keberlanjutan lingkungan hidup.
(8)Strategi untuk pengembangan kawasan tertinggal meliputi:
a.memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan;
b.membuka akses dan meningkatkan aksesibilitas antara kawasan tertinggal dan pusat pertumbuhan wilayah;
c.mengembangkan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi masyarakat;
d.meningkatkan akses masyarakat ke sumber pembiayaan; dan
e.meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan kegiatan ekonomi.

BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH NASIONAL
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 10
(1)Rencana struktur ruang wilayah nasional meliputi:
a.sistem perkotaan nasional;
b.sistem jaringan transportasi nasional;
c.sistem jaringan energi nasional;
d.sistem jaringan telekomunikasi nasional; dan
e.sistem jaringan sumber daya air.
(2)Rencana struktur ruang wilayah nasional digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:1.000.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Bagian Kedua
Sistem Perkotaan Nasional
Pasal 11
(1) Sistem perkotaan nasional terdiri atas PKN, PKW, dan PKL.
(2) PKN dan PKW tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3) PKL ditetapkan dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi berdasarkan usulan pemerintah kabupaten/kota, setelah dikonsultasikan dengan Menteri.

Pasal 12
PKN, PKW, dan PKL dapat berupa:
a.kawasan megapolitan;
b.kawasan metropolitan;
c.kawasan perkotaan besar;
d.kawasan perkotaan sedang; atau
e.kawasan perkotaan kecil.

Pasal 13
(1) Selain sistem perkotaan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dikembangkan PKSN untuk mendorong perkembangan kawasan perbatasan negara.
(2) Kawasan yang ditetapkan sebagai PKSN tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 14
(1)PKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a.  kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan ekspor-impor atau pintu gerbang menuju kawasan internasional;
b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi; dan/atau
c. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi skala nasional atau melayani beberapa provinsi.
(2)PKW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan ekspor-impor yang mendukung PKN;
b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten; dan/atau
c. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten.
(3)PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a.  kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan; dan/atau
b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan.

Pasal 15
PKSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) ditetapkan
dengan kriteria:
a.pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan
lintas batas dengan negara tetangga;
b.pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan dengan negara tetangga;
c.pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya; dan/atau
d.pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan di sekitarnya.

Pasal 16
(1) Kawasan megapolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a merupakan kawasan yang ditetapkan dengan criteria memiliki 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang
mempunyai hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.
(2) Kawasan metropolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b merupakan kawasan perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria:
a.  memiliki jumlah penduduk paling sedikit 1.000.000 (satujuta) jiwa;
b. terdiri atas satu kawasan perkotaan inti dan beberapa kawasan perkotaan di sekitarnya yang membentuk satu kesatuan pusat perkotaan; dan
c. terdapat keterkaitan fungsi antarkawasan perkotaan dalam satu sistem metropolitan.
(3) Kawasan perkotaan besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c merupakan kawasan perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih dari
500.000 (lima ratus ribu) jiwa.
(4) Kawasan perkotaan sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal  12 huruf d merupakan kawasan perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih dari
100.000 (seratus ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa.
(5) Kawasan perkotaan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e merupakan kawasan perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria  jumlah penduduk lebih dari 50.000 (lima puluh ribu) sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa.

Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Transportasi Nasional

Pasal 17
(1)Sistem jaringan transportasi nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b terdiri atas:
a.sistem jaringan transportasi darat;
b.sistem jaringan transportasi laut; dan
c.sistem jaringan transportasi udara.
(2) Sistem jaringan transportasi darat terdiri atas jaringan jalan nasional, jaringan jalur kereta api, dan jaringan transportasi sungai, danau, dan penyeberangan.
(3) Sistem jaringan transportasi laut terdiri atas tatanan kepelabuhanan dan alur pelayaran.
(4) Sistem jaringan transportasi udara terdiri atas tatanan kebandarudaraan dan ruang udara untuk penerbangan.

Pasal 18
(1) Jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) terdiri atas jaringan jalan arteri primer, jaringan jalan kolektor primer, jaringan jalan strategis nasional, dan jalan tol.
(2) Jaringan jalan arteri primer dikembangkan secara menerus dan berhierarki berdasarkan kesatuan sistem orientasi untuk menghubungkan:
a.antar-PKN;
b.antara PKN dan PKW; dan/atau
c.PKN dan/atau PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional.
(3) Jaringan jalan kolektor primer dikembangkan untuk menghubungkan antar-PKW dan antara PKW dan PKL.
(4) Jaringan jalan strategis nasional dikembangkan untuk menghubungkan:
a.  antar-PKSN dalam satu kawasan perbatasan negara;
b. antara PKSN dan pusat kegiatan lainnya; dan
c. PKN dan/atau PKW dengan kawasan strategis nasional.
(5) Jalan tol dikembangkan untuk mempercepat perwujudan jaringan jalan bebas hambatan sebagai bagian dari jaringan jalan nasional.
(6) Jaringan jalan bebas hambatan tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 19
(1) Jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat (1) mencakup pula jembatan atau terowongan
antarpulau serta jembatan atau terowongan antarnegara.
(2) Jembatan atau terowongan antarpulau dikembangkan untuk
menghubungkan arus lalu lintas antarpulau.
(3) Jembatan atau terowongan antarnegara dikembangkan untuk
menghubungkan arus lalu lintas dengan negara tetangga.

Pasal 20
Jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) terdiri atas:
a.  jaringan jalur kereta api umum; dan
b.  jaringan jalur kereta api khusus.

Pasal 21
(1) Jaringan jalur kereta api umum terdiri atas:
a.jaringan jalur kereta api antarkota; dan
b.jaringan jalur kereta api perkotaan.
(2) Jaringan jalur kereta api antarkota dikembangkan untuk menghubungkan:
a.  PKN dengan pusat kegiatan di negara tetangga;
b.  antar-PKN;
c.  PKW dengan PKN; atau
d.  antar-PKW.
(3) Jaringan jalur kereta api perkotaan dikembangkan untuk:
a.  menghubungkan kawasan perkotaan dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional; dan
b.  mendukung aksesibilitas di kawasan perkotaan.
(4) Jaringan jalur kereta api antarkota dan perkotaan beserta prioritas pengembangannya ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkeretaapian.

Pasal 22
(1)Jaringan jalur kereta api khusus dikembangkan oleh badan usaha tertentu untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tersebut.
(2)Jaringan jalur kereta api khusus dapat disambungkan dengan jaringan jalur kereta api umum dan jaringan jalur kereta api khusus lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3)Jaringan jalur kereta api khusus ditetapkan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23
(1) Jaringan transportasi sungai dan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) terdiri atas:
a.  pelabuhan sungai dan pelabuhan danau; dan
b. alur pelayaran untuk kegiatan angkutan sungai dan alur pelayaran untuk kegiatan angkutan danau.
(2) Pelabuhan dan alur pelayaran sungai dan danau beserta prioritas pengembangannya ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi sungai
dan danau.

Pasal 24
(1) Jaringan transportasi penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) terdiri atas pelabuhan penyeberangan dan lintas penyeberangan.
(2) Pelabuhan penyeberangan terdiri atas:
a.  pelabuhan penyeberangan lintas antarprovinsi dan antarnegara;
b.  pelabuhan penyeberangan lintas antarkabupaten/kota;dan
c.  pelabuhan penyeberangan lintas dalam kabupaten/kota.
(3) Lintas penyeberangan terdiri atas:
a.  lintas penyeberangan antarprovinsi yang menghubungkan antarjaringan jalan nasional dan antarjaringan jalur kereta api antarprovinsi;
b. lintas penyeberangan antar negara yang menghubungkan antarjaringan jalan pada kawasan perbatasan;
c.  lintas penyeberangan lintas kabupaten/kota yang menghubungkan antarjaringan jalan provinsi dan jaringan jalur kereta api dalam provinsi; dan
d. lintas pelabuhan penyeberangan dalam kabupaten/kota yang menghubungkan antarjaringan jalan kabupaten/kota dan jaringan jalur kereta api dalam kabupaten/kota.
(4) Lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membentuk jaringan penyeberangan sabuk utara, sabuk tengah, sabuk selatan, dan penghubung sabuk dalam wilayah nasional.
(5) Lintas penyeberangan beserta prioritas pengembangannya ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi penyeberangan.

Pasal 25
Tatanan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) terdiri atas:
a. pelabuhan umum; dan
b. pelabuhan khusus.

Pasal 26
(1)Pelabuhan umum terdiri atas pelabuhan internasional hub, pelabuhan internasional, pelabuhan nasional, pelabuhan regional, dan pelabuhan lokal.
(2)Pelabuhan internasional hub dan pelabuhan internasional dikembangkan untuk:
a.melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah besar;
b.menjangkau wilayah pelayanan sangat luas; dan
c.menjadi simpul jaringan transportasi laut internasional.
(3)Pelabuhan nasional dikembangkan untuk:
a.  melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah menengah;
b. menjangkau wilayah pelayanan menengah; dan
c. memiliki fungsi sebagai simpul jaringan transportasi laut nasional.
(4)Pelabuhan regional dikembangkan untuk:
 a.  melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut nasional dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai,dan angkutan perintis dalam jumlah menengah; dan
b. menjangkau wilayah pelayanan menengah.
(5)Pelabuhan lokal dikembangkan untuk:
a.  melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut lokal dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah kecil; dan
b. menjangkau wilayah pelayanan terbatas.
(6)Pelabuhan internasional dan pelabuhan nasional tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 27
(1)Pelabuhan khusus dikembangkan untuk menunjang pengembangan kegiatan atau fungsi tertentu.
(2)Pelabuhan khusus dapat dialihkan fungsinya menjadi pelabuhan umum dengan memperhatikan sistem transportasi laut.
(3)Pelabuhan khusus ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi laut setelah mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota.

Pasal 28
(1) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) terdiri atas alur pelayaran internasional dan alur pelayaran nasional.
(2) Alur pelayaran internasional terdiri atas:
a.Alur Laut Kepulauan Indonesia;
b.jaringan pelayaran yang menghubungkan antarpelabuhan
internasional hub dan pelabuhan internasional; dan
c.jaringan pelayaran  yang menghubungkan antara pelabuhan internasional hub dan pelabuhan internasional dengan pelabuhan internasional di negara lain.
(3)Alur pelayaran nasional terdiri atas:
a.alur pelayaran yang menghubungkan pelabuhan nasional dengan pelabuhan internasional atau pelabuhan internasional hub;
b.alur pelayaran yang menghubungkan antarpelabuhan nasional;
c.alur pelayaran yang menghubungkan antara pelabuhan nasional dan pelabuhan regional; dan
d.alur pelayaran yang menghubungkan antarpelabuhan regional.
(4)Alur pelayaran internasional ditetapkan berdasarkan criteria yang berlaku secara internasional dan peraturan perundang- undangan.
(5)Alur pelayaran nasional ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi laut.

Pasal 29
Tatanan kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) terdiri atas:
a.bandar udara umum; dan
b.bandar udara khusus.

Pasal 30
(1) Bandar udara umum terdiri atas:
a.bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer;
b.bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan sekunder;
c.bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan tersier; dan
d.bandar udara bukan pusat penyebaran.
(2) Bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer,bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan sekunder, dan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan tersier
tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 31
Bandar udara khusus dikembangkan untuk menunjang pengembangan kegiatan tertentu dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang kebandarudaraan.

Pasal 32
(1)Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) terdiri atas:
a.ruang udara di atas bandar udara yang dipergunakan langsung untuk kegiatan bandar udara;
b.ruang udara di sekitar bandar udara yang dipergunakan untuk operasi penerbangan; dan
c.ruang udara yang ditetapkan sebagai jalur penerbangan.
(2)Ruang udara untuk penerbangan dimanfaatkan dengan mempertimbangkan pemanfaatan ruang udara bagi pertahanan dan keamanan negara.
(3)Ruang udara untuk penerbangan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 33
(1)Jaringan jalan arteri primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a.menghubungkan antar-PKN, antara PKN dan PKW, dan/atau PKN/PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional;
b.berupa jalan umum yang melayani angkutan utama;
c.melayani perjalanan jarak jauh;
d.memungkinkan untuk lalu lintas dengan kecepatan rata- rata tinggi; dan
e.membatasi jumlah jalan masuk secara berdaya guna.
(2)Jaringan jalan kolektor primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a.menghubungkan antar-PKW dan antara PKW dan PKL;
b.berupa jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul atau pembagi;
c.melayani perjalanan jarak sedang;
d.memungkinkan untuk lalu lintas dengan kecepatan rata- rata sedang; dan
e.membatasi jumlah jalan masuk.
(3)Kriteria jaringan jalan strategis nasional dan jaringan jalan tol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 34
(1)Jaringan jalur kereta api antarkota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan criteria menghubungkan antara PKN dan pusat kegiatan di Negara tetangga, antar-PKN, PKW dengan PKN, atau antar-PKW.
(2)Jaringan jalur kereta api perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan criteria menghubungkan kawasan perkotaan dengan bandar udara
pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional atau mendukung aksesibilitas di kawasan perkotaan metropolitan.
(3)Kriteria teknis jaringan jalur kereta api antarkota dan perkotaan ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkeretaapian.

Pasal 35
(1)Pelabuhan sungai dan pelabuhan danau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria:
a.  berdekatan dengan kawasan permukiman penduduk;
b. terintegrasi dengan sistem jaringan transportasi darat lainnya; dan
c.  berada di luar kawasan lindung.
(2)Pelabuhan penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a.berada di lokasi yang menghubungkan dengan pelabuhan penyeberangan lain pada jarak terpendek yang memiliki nilai ekonomis; dan
b.berada di luar kawasan lindung.
(3)Kriteria teknis pelabuhan sungai, danau, dan penyeberangan ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi sungai, danau, dan penyeberangan.

Pasal 36
(1) Pelabuhan internasional hub dan pelabuhan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a.berhadapan langsung dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia dan/atau jalur pelayaran internasional;
b.berjarak paling jauh 500 (lima ratus) mil dari Alur Laut Kepulauan Indonesia atau jalur pelayaran internasional;
c.bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi antarnegara;
d.berfungsi sebagai simpul utama pendukung pengembangan produksi kawasan andalan ke pasar internasional;
e.berada di luar kawasan lindung; dan
f.berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 12 (dua belas) meter untuk pelabuhan internasional hub dan 9 (sembilan) meter untuk pelabuhan internasional.
(2) Pelabuhan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a.merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi antarprovinsi;
b.berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan andalan ke pasar nasional;
c.memberikan akses bagi pengembangan pulau-pulau kecil dan kawasan andalan laut, termasuk pengembangan kawasan tertinggal;
d.berada di luar kawasan lindung; dan
e.berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 9 (sembilan) meter.
(3) Pelabuhan regional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a.merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN atau PKW dalam sistem transportasi antarprovinsi;
b.berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk
kawasan andalan ke pasar regional;
c.memberikan akses bagi pengembangan kawasan andalan
laut, kawasan pedalaman sungai, dan pulau-pulau kecil,
termasuk pengembangan kawasan tertinggal;
d.berada di luar kawasan lindung; dan
e.berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling
sedikit 4 (empat) meter.
(4) Pelabuhan lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a.merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKW atau PKL dalam sistem transportasi antarkabupaten/kota dalam satu provinsi;
b.berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan budi daya di sekitarnya ke pasar lokal;
c.berada di luar kawasan lindung;
d.berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 1,5 (satu setengah) meter; dan
e.dapat melayani pelayaran rakyat.
(5) Kriteria teknis pelabuhan internasional hub, pelabuhan internasional, pelabuhan nasional, pelabuhan regional, dan pelabuhan lokal ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi laut.

Pasal 37
(1)Bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria:
a.merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN; dan
b.melayani penumpang dengan jumlah paling sedikit 5.000.000 (lima juta) orang per tahun.
(2)Bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan sekunder sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan kriteria:
a.merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN; dan
b.melayani penumpang dengan jumlah antara 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang per tahun.
(3)Bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan tersier sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan kriteria:
a.merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN atau PKW terdekat; dan
b.melayani penumpang dengan jumlah antara 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang per tahun.
(4)Kriteria teknis bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer, bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan sekunder, dan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan tersier ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang transportasi udara.

Bagian Keempat
Sistem Jaringan Energi Nasional

Pasal 38
Sistem jaringan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c terdiri atas:
a.jaringan pipa minyak dan gas bumi;
b.pembangkit tenaga listrik; dan
c.jaringan transmisi tenaga listrik.

Pasal 39
(1) Jaringan pipa minyak dan gas bumi dikembangkan untuk:
a.  menyalurkan minyak dan gas bumi dari fasilitas produksi ke kilang pengolahan dan/atau tempat penyimpanan; atau
b. menyalurkan minyak dan gas bumi dari kilang pengolahan atau tempat penyimpanan ke konsumen.
(2) Jaringan pipa minyak dan gas bumi beserta prioritas pengembangannya ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang minyak dan gas bumi.

Pasal 40
Pembangkit tenaga listrik dikembangkan untuk memenuhi penyediaan tenaga listrik sesuai dengan kebutuhan yang mampu mendukung kegiatan perekonomian.

Pasal 41
Jaringan transmisi tenaga listrik dikembangkan untuk menyalurkan tenaga listrik antarsistem yang menggunakan kawat saluran udara, kabel bawah tanah, atau kabel bawah laut.

Pasal 42
Sistem jaringan pipa minyak dan gas bumi, pembangkit tenaga listrik, dan jaringan transmisi tenaga listrik ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang energi.

Pasal 43
(1) Jaringan pipa minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a ditetapkan dengan kriteria:
a.  adanya fasilitas produksi minyak dan gas bumi, fasilitas pengolahan dan/atau penyimpanan, dan konsumen yang terintegrasi dengan fasilitas tersebut; dan
b. berfungsi sebagai pendukung sistem pasokan energy nasional.
(2) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b ditetapkan dengan kriteria:
a. mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan umum di kawasan perkotaan, perdesaan hingga kawasan terisolasi;
b. mendukung pengembangan kawasan perdesaan, pulau- pulau kecil, dan kawasan terisolasi;
c. mendukung pemanfaatan teknologi baru untuk menghasilkan sumber  energi yang mampu mengurangi ketergantungan terhadap energi tak terbarukan;
d. berada pada kawasan dan/atau di luar kawasan yang
memiliki potensi sumber daya energi; dan e. berada pada lokasi yang aman terhadap kegiatan lain dengan memperhatikan jarak bebas dan jarak aman.
(3) Jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf c ditetapkan dengan kriteria:
a.  mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan umum di kawasan perkotaan hingga perdesaan;
b. mendukung pengembangan kawasan perdesaan, pulau- pulau kecil, dan kawasan terisolasi;
c. melintasi kawasan permukiman, wilayah sungai, laut, hutan, persawahan, perkebunan, dan jalur transportasi;
d. berada pada lokasi yang aman terhadap kegiatan lain dengan memperhatikan persyaratan ruang bebas dan jarak aman;
e. merupakan media penyaluran tenaga listrik adalah kawat saluran udara,  kabel bawah laut, dan kabel bawah tanah; dan
f. menyalurkan tenaga listrik berkapasitas besar dengan tegangan nominal lebih dari 35 (tiga puluh lima) kilo Volt.

Pasal 44
Kriteria teknis jaringan pipa minyak dan gas bumi, pembangkit tenaga listrik, dan jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang energi.

Bagian Kelima
Sistem Jaringan Telekomunikasi Nasional

Pasal 45
Sistem jaringan telekomunikasi nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf d terdiri atas:
a.  jaringan terestrial; dan
b. jaringan satelit.

Pasal 46
(1)Jaringan terestrial dikembangkan secara berkesinambungan untuk menyediakan pelayanan telekomunikasi di seluruh wilayah nasional.
(2)Jaringan satelit dikembangkan untuk melengkapi system jaringan telekomunikasi nasional melalui satelit komunikasi dan stasiun bumi.
(3)Jaringan terestrial dan satelit beserta prioritas pengembangannya ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.

Pasal 47
(1) Jaringan terestrial ditetapkan dengan kriteria:
a.menghubungkan antarpusat perkotaan nasional;
b.menghubungkan pusat perkotaan nasional dengan pusat kegiatan di negara lain;
c.mendukung pengembangan kawasan andalan; atau
d.mendukung kegiatan berskala internasional.
(2) Jaringan satelit ditetapkan dengan kriteria ketersediaan orbitsatelit dan frekuensi radio yang telah terdaftar pada Perhimpunan Telekomunikasi Internasional.
(3) Kriteria teknis jaringan terestrial dan jaringan satelit ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi.

Bagian Keenam
Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 48
(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e merupakan sistem sumber daya air pada setiap wilayah sungai dan cekungan air tanah.
(2) Wilayah sungai meliputi wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas provinsi, dan wilayah sungai strategis nasional.
(3) Cekungan air tanah meliputi cekungan air tanah lintas Negara dan lintas provinsi.
(4) Wilayah sungai tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(5) Arahan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai lintas negara, wilayah sungai lintas provinsi, dan wilayah sungai strategis nasional memperhatikan pola pengelolaan sumber daya air.
(6) Pola pengelolaan sumber daya air ditetapkan dengan peraturan menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang sumber daya air.

Pasal 49
(1) Wilayah sungai dan cekungan air tanah lintas Negara ditetapkan dengan kriteria melayani kawasan perbatasan negara atau melintasi batas negara.
(2) Wilayah sungai dan cekungan air tanah lintas provinsi ditetapkan dengan kriteria melintasi dua atau lebih provinsi.
(3) Wilayah sungai strategis nasional ditetapkan dengan kriteria:
a. melayani kawasan strategis nasional, PKN, atau kawasan andalan;
b.  melayani paling sedikit 1 (satu) daerah irigasi yang luasnya lebih besar atau sama dengan 10.000 (sepuluh ribu) hektar; dan/atau
c. memiliki dampak negatif akibat daya rusak air terhadap pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan tingkat kerugian ekonomi paling sedikit 1% (satu persen) dari produk domestik regional bruto (PDRB) provinsi.

BAB IV
RENCANA POLA RUANG WILAYAH NASIONAL
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 50
(1) Rencana pola ruang wilayah nasional terdiri atas:
a.  kawasan lindung nasional; dan
b.  kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional.
(2) Rencana pola ruang wilayah nasional digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:1.000.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Lindung Nasional

Paragraf 1
Jenis dan Sebaran Kawasan Lindung Nasional

Pasal 51
Kawasan lindung nasional terdiri atas:
a.  kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya;
b.  kawasan perlindungan setempat;
c.  kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya;
d.  kawasan rawan bencana alam;
e.  kawasan lindung geologi; dan
f.   kawasan lindung lainnya.

Pasal 52
(1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri atas:
a.  kawasan hutan lindung;
b.  kawasan bergambut; dan
c.  kawasan resapan air.
(2) Kawasan perlindungan setempat terdiri atas:
a.  sempadan pantai;
b.  sempadan sungai;
c.  kawasan sekitar danau atau waduk; dan
d.  ruang terbuka hijau kota.
(3) Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya, terdiri atas:
a.  kawasan suaka alam;
b.  kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya;
c.  suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut;
d.  cagar alam dan cagar alam laut;
e.  kawasan pantai berhutan bakau;
f.  taman nasional dan taman nasional laut;
g.  taman hutan raya;
h.  taman wisata alam dan taman wisata alam laut; dan
i. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
(4) Kawasan rawan bencana alam terdiri atas:
a. kawasan rawan tanah longsor;
b.  kawasan rawan gelombang pasang; dan
c. kawasan rawan banjir.
(5) Kawasan lindung geologi terdiri atas:
a.  kawasan cagar alam geologi;
b.  kawasan rawan bencana alam geologi; dan
c.  kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah.
(6) Kawasan lindung lainnya terdiri atas:
a.  cagar biosfer;
b.  ramsar;
c.  taman buru;
d.  kawasan perlindungan plasma nutfah;
e.  kawasan pengungsian satwa;
f.   terumbu karang; dan
g.  kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang
dilindungi.

Pasal 53
(1) Kawasan cagar alam geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf a terdiri atas:
a.  kawasan keunikan batuan dan fosil;
b. kawasan keunikan bentang alam; dan
c. kawasan keunikan proses geologi.
(2) Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf b terdiri atas:
a. kawasan rawan letusan gunung berapi;
b. kawasan rawan gempa bumi;
c. kawasan rawan gerakan tanah;
d. kawasan yang terletak di zona patahan aktif;
e.  kawasan rawan tsunami;
f.  kawasan rawan abrasi; dan
g.  kawasan rawan bahaya gas beracun.
(3) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5) huruf c terdiri atas:
a.  kawasan imbuhan air tanah; dan
b.  sempadan mata air.

Pasal 54
(1) Sebaran kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) dan ayat (6), serta Pasal 53 ayat (1) dengan luas paling sedikit 1.000 (seribu) hektar tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(2) Sebaran kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) dan ayat (6), serta Pasal 53 ayat (1) dengan luas kurang dari 1.000 (seribu) hektar dan sebaran kawasan
lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 53 ayat (2) dan ayat (3)ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 2
Kriteria Kawasan Lindung Nasional

Pasal 55
(1)Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria:
a.kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau
lebih;
b.kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen); atau
c.kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di atas permukaan laut.
(2)Kawasan bergambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan kriteria ketebalan gambut3 (tiga) meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai atau
rawa.
(3) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan kriteria kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan
dan sebagai pengontrol tata air permukaan.

Pasal 56
(1) Sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan kriteria:
a.  daratan  sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang air laut tertinggi kearah darat; atau
b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai.
(2) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b ditetapkan dengan kriteria:
a.daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki tanggul sebelah luar;
b.daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 100(seratus) meter dari tepi sungai; dan
c.daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan lebar paling sedikit 50(lima puluh) meter dari tepi sungai.
(3) Kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf c ditetapkan dengan kriteria:
a.  daratan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang air danauatau waduk tertinggi; atau
b.  daratan sepanjang tepian danau atau waduk yang lebarnya proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik danau atau waduk.
(4) Ruang terbuka hijau kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf d ditetapkan dengan kriteria:
a.  lahan dengan luas paling sedikit 2.500 (dua ribu limaratus) meter persegi;
b.  berbentuk satu hamparan, berbentuk jalur, atau kombinasi dari bentuk satu hamparan dan jalur; dan
c.   didominasi komunitas tumbuhan.

Pasal 57
(1) Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
ayat (3) huruf a ditetapkan dengan kriteria:
a.  kawasan yang memiliki keanekaragaman biota, ekosistem,
serta gejala dan keunikan alam yang khas baik di darat
maupun di perairan; dan/atau
b. mempunyai fungsi utama sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman jenis biota, ekosistem, serta gejala dan
keunikan alam  yang terdapat di dalamnya.
(2) Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan
kriteria:
a.  memiliki ekosistem khas, baik di lautan maupun di
perairan lainnya; dan
b.  merupakan habitat alami yang memberikan tempat atau
perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa.
(3) Suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf c ditetapkan dengan
kriteria:
a.  merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari suatu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya;
b. memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi;
c. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrant tertentu; atau
d. memiliki luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.
(4) Cagar alam dan cagar alam laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf d ditetapkan dengan kriteria:
a.  memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa, dan tipe ekosistemnya;
b.  memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya;
c.  memiliki kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli atau belum diganggu manusia;
d.  memiliki luas dan bentuk tertentu; atau
e.  memiliki ciri khas yang merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan konservasi.
(5) Kawasan pantai berhutan bakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf e ditetapkan dengan criteria koridor di sepanjang pantai dengan lebar paling sedikit 130
(seratus tiga puluh) kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan, diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.
(6) Taman nasional dan taman nasional laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf f ditetapkan dengan kriteria:
a.berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan satwa yang beragam;
b.memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami;
c.memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh;
d.memiliki paling sedikit satu ekosistem yang terdapat di dalamnya yang secara materi atau fisik tidak boleh diubah baik oleh eksploitasi maupun pendudukan manusia; dan
e.memiliki keadaan alam yang asli untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam.
(7) Taman hutan raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf g ditetapkan dengan kriteria:
a.berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan/atau satwa yang beragam;
b.memiliki arsitektur bentang alam yang baik;
c.memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata;
d.merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh maupun kawasan yang sudah berubah;
e.memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam; dan
f.memiliki luas yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan/atau satwa jenis asli dan/atau bukan asli.
(8) Taman wisata alam dan taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf h ditetapkan dengan kriteria:
a.memiliki daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa dan ekosistemnya yang masih asli serta formasi geologi yang indah, unik, dan langka;
b.memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata;
c.memiliki  luas yang cukup untuk menjamin pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan wisata alam; dan
d.kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan kegiatan wisata alam.
(9) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) huruf i ditetapkan dengankriteria sebagai hasil budaya manusia yang bernilai tinggi
yang dimanfaatkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Pasal 58
(1) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) huruf a ditetapkan dengan kriteria kawasan berbentuk lereng yang rawan terhadap perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran.
(2) Kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) huruf b ditetapkan dengan criteria kawasan sekitar pantai yang rawan terhadap gelombang pasang dengan kecepatan antara 10 sampai dengan 100 kilometer per jam yang timbul akibat angin kencang atau gravitasi bulan atau matahari.
(3) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (4) huruf c ditetapkan dengan kriteria kawasan yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi mengalami
bencana alam banjir.

Pasal 59
(1) Cagar biosfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf a ditetapkan dengan kriteria:
a.memiliki keterwakilan ekosistem yang masih alami,kawasan yang sudah mengalami degradasi, mengalami modifikasi, atau kawasan binaan;
b.memiliki komunitas alam yang unik, langka, dan indah;
c.merupakan bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alam dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis; atau
d.berupa tempat bagi pemantauan perubahan ekologi melalui penelitian dan pendidikan.
(2) Ramsar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf b ditetapkan dengan kriteria:
a. berupa lahan basah baik yang bersifat alami atau mendekati alami yang mewakili langka atau unit yang sesuai dengan biogeografisnya;
b. mendukung spesies rentan, langka, hampir langka, atau ekologi komunitas yang terancam;
c. mendukung keanekaragaman populasi satwa dan/atau flora di wilayah biogeografisnya; atau
d. merupakan tempat perlindungan bagi satwa dan/atau flora saat melewati masa kritis dalam hidupnya.
(3) Taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf c ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki luas yang cukup dan tidak membahayakan untuk kegiatan berburu; dan
b. terdapat satwa buru yang dikembangbiakkan yang memungkinkan perburuan secara teratur dan berkesinambungan dengan mengutamakan segi aspek rekreasi, olahraga, dan kelestarian satwa.
(4) Kawasan perlindungan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf d ditetapkan dengan kriteria:
a.memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang memungkinkan kelangsungan proses pertumbuhannya; dan
b.memiliki luas tertentu yang memungkinkan kelangsungan proses pertumbuhan jenis plasma nutfah.
(5) Kawasan pengungsian satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf e ditetapkan dengan kriteria:
a. merupakan tempat kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut;
b. merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa; dan
c. memiliki luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya  proses hidup dan kehidupan serta berkembangbiaknya satwa.
(6) Terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf f ditetapkan dengan kriteria:
a. berupa kawasan yang terbentuk dari koloni masif dari hewan kecil yang secara bertahap membentuk terumbu karang;
b. terdapat di sepanjang pantai dengan kedalaman paling dalam 40 (empat puluh) meter; dan
c. dipisahkan oleh laguna dengan kedalaman antara 40 (empat puluh) sampai dengan 75 (tujuh puluh lima) meter.
(7) Kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6) huruf g ditetapkan dengan kriteria:
a. berupa kawasan memiliki ekosistem unik, biota endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan; dan
b. mendukung alur migrasi biota laut.

Pasal 60
(1) Kawasan keunikan batuan dan fosil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki keragaman batuan dan dapat berfungsi sebagai laboratorium alam;
b. memiliki batuan yang mengandung jejak atau sisa kehidupan di masa lampau (fosil);
c. memiliki nilai paleo-antropologi dan arkeologi;
d. memiliki tipe geologi unik; atau
e. memiliki satu-satunya batuan dan/atau jejak struktur geologi masa lalu.
(2) Kawasan keunikan bentang alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan kriteria:
a.memiliki bentang alam gumuk pasir pantai;
b. memiliki bentang alam berupa kawah, kaldera, maar, leher vulkanik, dan gumuk vulkanik;
c. memiliki bentang alam goa;
d. memiliki bentang alam ngarai/lembah;
e. memiliki bentang alam kubah; atau
f. memiliki bentang alam karst.
(3) Kawasan keunikan proses geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan kriteria:
a. kawasan poton atau lumpur vulkanik;
b. kawasan dengan kemunculan sumber api alami; atau
c. kawasan dengan kemunculan solfatara, fumaroia, dan/atau geyser.

Pasal 61
(1) Kawasan rawan letusan gunung berapi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a ditetapkan dengankriteria:
a. wilayah di sekitar kawah atau kaldera; dan/atau
b. wilayah yang sering terlanda awan panas, aliran lava, aliran lahar lontaran atau guguran batu pijar dan/atau aliran gas beracun.
(2) Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b ditetapkan dengan kriteria kawasan yang berpotensi dan/atau pernah mengalami gempa bumi
dengan skala VII sampai dengan XII Modified Mercally Intensity (MMI).
(3) Kawasan rawan gerakan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf c ditetapkan dengan kriteria memiliki tingkat kerentanan gerakan tanah tinggi.
(4) Kawasan yang terletak di zona patahan aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf d ditetapkan dengan kriteria sempadan dengan lebar paling sedikit 250 (dua ratus
lima puluh) meter dari tepi jalur patahan aktif.
(5) Kawasan rawan tsunami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf e ditetapkan dengan kriteria pantai dengan elevasi rendah dan/atau berpotensi atau pernah mengalami
tsunami.
(6) Kawasan rawan abrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf f ditetapkan dengan kriteria pantai yang berpotensi dan/atau pernah mengalami abrasi.
(7) Kawasan rawan bahaya gas beracun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf g ditetapkan dengan criteria wilayah yang berpotensi dan/atau pernah mengalami bahaya
gas beracun.

Pasal 62
(1) Kawasan imbuhan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) huruf a ditetapkan dengan kriteria:
a.  memiliki jenis fisik batuan dengan kemampuan meluluskan air dengan jumlah yang berarti;
b.  memiliki lapisan penutup tanah berupa pasir sampai lanau;
c.  memiliki hubungan hidrogeologis yang menerus dengan daerah lepasan; dan/atau
d. memiliki muka air tanah tidak tertekan yang letaknya lebih tinggi daripada muka air tanah yang tertekan.
(2) Kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan kriteria:
a.  daratan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan fungsi mata air; dan
b. wilayah dengan jarak paling sedikit 200 (dua ratus) meter dari  mata air.

Bagian Ketiga
Kawasan Budi Daya yang Memiliki Nilai Strategis Nasional

Paragraf 1
Kawasan Budi Daya

Pasal 63
Kawasan budi daya terdiri atas:
a.kawasan peruntukan hutan produksi;
b.kawasan peruntukan hutan rakyat;
c.kawasan peruntukan pertanian;
d.kawasan peruntukan perikanan;
e.kawasan peruntukan pertambangan;
f.kawasan peruntukan industri;
g.kawasan peruntukan pariwisata;
h.kawasan peruntukan permukiman; dan/atau
i.kawasan peruntukan lainnya.

Paragraf 2
Kriteria Kawasan Budi Daya

Pasal 64
(1)Kawasan peruntukan hutan produksi terdiri atas:
a.  kawasan peruntukan hutan produksi terbatas;
b.  kawasan peruntukan hutan produksi tetap; dan
c.  kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi.
(2)Kawasan peruntukan hutan produksi terbatas ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor 125 (seratus
dua puluh lima) sampai dengan 174 (seratus tujuh puluhempat).
(3)Kawasan peruntukan hutan produksi tetap ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar
124 (seratus dua puluh empat).
(4)Kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi ditetapkan dengan kriteria:
a.memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar 124(seratus dua puluh empat); dan/atau
b.merupakan kawasan yang apabila dikonversi mampu mempertahankan daya dukung dan daya tamping lingkungan.
(5)Kriteria teknis kawasan peruntukan hutan produksi terbatas, kawasan peruntukan hutan produksi tetap, dan kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi ditetapkan
oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kehutanan.

Pasal 65
(1) Kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan dengan criteria kawasan yang dapat diusahakan sebagai hutan oleh orang pada tanah yang dibebani hak milik.
(2) Kriteria teknis kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kehutanan.

Pasal 66
(1)Kawasan peruntukan pertanian ditetapkan dengan kriteria:
a.memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian;
b.ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan abadi;
c.mendukung ketahanan pangan nasional; dan/atau
d.dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan air.
(2)Kriteria teknis kawasan peruntukan pertanian ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertanian.

Pasal 67
(1)Kawasan peruntukan perikanan ditetapkan dengan kriteria:
a.wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan, budi daya,  dan industri pengolahan hasil perikanan; dan/atau
b.tidak mengganggu kelestarian lingkungan hidup.
(2)Kriteria teknis kawasan peruntukan perikanan ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perikanan.

Pasal 68
(1)Kawasan peruntukan pertambangan yang memiliki nilai strategis nasional terdiri atas pertambangan mineral dan batubara, pertambangan minyak dan gas bumi,pertambangan panas bumi, serta air tanah.
(2)Kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas berdasarkan peta/data geologi;
b. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk pemusatan kegiatan pertambangan secara berkelanjutan; dan/atau
c. merupakan bagian proses upaya merubah kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil.
(3) Kriteria teknis kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan.

Pasal 69
(1)Kawasan peruntukan industri ditetapkan dengan kriteria:
a.  berupa wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan industri;
b.  tidak mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup;dan/atau
c.  tidak mengubah lahan produktif.
(2)Kriteria teknis kawasan peruntukan industri ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang industri.

Pasal 70
(1) Kawasan peruntukan pariwisata ditetapkan dengan kriteria:
a.memiliki objek dengan daya tarik wisata; dan/atau
b.mendukung upaya pelestarian budaya, keindahan alam,dan lingkungan.
(2) Kriteria teknis kawasan peruntukan pariwisata ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pariwisata.

Pasal 71
(1)Kawasan peruntukan permukiman ditetapkan dengan kriteria:
a.berada di luar kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana;
b.memiliki akses menuju pusat kegiatan masyarakat di luar kawasan; dan/atau
c.memiliki kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas pendukung.
(2)Kriteria teknis kawasan peruntukan permukiman ditetapkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perumahan dan permukiman.

Paragraf 3
Penetapan Kawasan Budi Daya yang Memiliki Nilai Strategis Nasional

Pasal 72
(1) Kawasan budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 yang memiliki nilai strategis nasional  ditetapkan sebagai kawasan andalan.
(2) Nilai strategis nasional meliputi kemampuan kawasan untuk memacu pertumbuhan ekonomi kawasan dan wilayah disekitarnya serta mendorong pemerataan perkembangan wilayah.

Pasal 73
(1)Kawasan andalan terdiri atas kawasan andalan darat dan kawasan andalan laut.
(2)Kawasan andalan darat terdiri atas kawasan andalan berkembang dan kawasan andalan prospektif berkembang.
(3)Kawasan andalan tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 74
(1)Kawasan andalan berkembang ditetapkan dengan kriteria:
a.memiliki paling sedikit 3 (tiga) kawasan perkotaan;
b.memiliki kontribusi terhadap produk domestik bruto paling sedikit 0,25% (nol koma dua lima persen);
c.memiliki jumlah penduduk paling sedikit 3% (tiga persen) dari jumlah penduduk provinsi;
d.memiliki prasarana berupa jaringan jalan, pelabuhan laut dan/atau bandar udara, prasarana listrik, telekomunikasi,dan air baku, serta fasilitas penunjang kegiatan ekonomi
kawasan; dan
e.memiliki sektor unggulan yang sudah berkembang dan/atau sudah ada minat investasi.
(2)Kawasan andalan prospektif berkembang ditetapkan dengan kriteria:
a.memiliki paling sedikit 1 (satu) kawasan perkotaan;
b.memiliki kontribusi terhadap produk domestik bruto paling sedikit  0,05% (nol koma nol lima persen);
c.memiliki laju pertumbuhan ekonomi  paling sedikit 4% (empat persen) per tahun;
d.memiliki jumlah penduduk paling sedikit 0,5% (nol koma lima persen) dari jumlah penduduk provinsi;
e.memiliki prasarana berupa jaringan jalan, pelabuhan laut,dan prasarana lainnya yang belum memadai; dan
f.memiliki sektor unggulan yang potensial untuk dikembangkan.
(3)Kawasan andalan laut ditetapkan dengan kriteria:
a.memiliki sumber daya kelautan;
b.memiliki pusat pengolahan hasil laut; dan
c.memiliki akses menuju pasar nasional atau internasional.

BAB V
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL

Bagian Kesatu
Kriteria Kawasan Strategis Nasional

Pasal 75
Penetapan kawasan strategis nasional dilakukan berdasarkan kepentingan:
a.pertahanan dan keamanan;
b.pertumbuhan ekonomi;
c.sosial dan budaya;
d.pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi; dan/atau
e.fungsi dan daya dukung lingkungan hidup.

Pasal 76
Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan ditetapkan dengan kriteria:
a.diperuntukkan bagi kepentingan pemeliharaan keamanan dan pertahanan negara berdasarkan geostrategi nasional;
b.diperuntukkan bagi basis militer, daerah latihan militer, daerah pembuangan amunisi dan peralatan pertahanan lainnya, gudang amunisi, daerah uji coba system persenjataan, dan/atau kawasan industri sistem pertahanan; atau
c.merupakan wilayah kedaulatan negara termasuk pulau-pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga dan/atau laut lepas.

Pasal 77
Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi ditetapkan dengan kriteria:
a.memiliki potensi ekonomi cepat tumbuh;
b.memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional;
c.memiliki potensi ekspor;
d.didukung jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan ekonomi;
e.memiliki kegiatan ekonomi yang memanfaatkan teknologi tinggi;
f.berfungsi untuk mempertahankan tingkat produksi pangan nasional dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional;
g.berfungsi untuk mempertahankan tingkat produksi sumber energi dalam rangka mewujudkan ketahanan energi nasional;atau
h.ditetapkan untuk mempercepat pertumbuhan kawasan tertinggal.

Pasal 78
Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan sosial dan budaya ditetapkan dengan kriteria:
a.merupakan tempat pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya nasional;
b.merupakan prioritas peningkatan kualitas sosial dan budaya serta jati diri bangsa;
c.merupakan aset nasional atau internasional yang harus dilindungi dan dilestarikan;
d.merupakan tempat perlindungan peninggalan budaya nasional;
e.memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman budaya; atau
f.memiliki potensi kerawanan terhadap konflik sosial skala nasional.

Pasal 79
Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi ditetapkan dengan kriteria:
a.diperuntukkan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdasarkan lokasi sumber daya alam strategis nasional, pengembangan antariksa, serta tenaga atom dan nuklir;
b.memiliki sumber daya alam strategis nasional;
c.berfungsi sebagai pusat pengendalian dan pengembangan antariksa;
d.berfungsi sebagai pusat pengendalian tenaga atom dan nuklir; atau
e.berfungsi sebagai lokasi penggunaan teknologi tinggi strategis.
Pasal 80
Kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup ditetapkan dengan kriteria:
a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati;
b. merupakan aset nasional berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora dan/atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang
harus dilindungi dan/atau dilestarikan;
c. memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian negara;
d. memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro;
e. menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup;
f. rawan bencana alam nasional; atau
g. sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan.

Bagian Kedua
Penetapan dan Rencana Pengembangan Kawasan Strategis Nasional

Pasal 81
Penetapan kawasan strategis nasional berdasarkan kepentingan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 82
(1)Penetapan kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, dan Pasal 80, tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Pemerintah ini.
(2)Pemerintah dapat menetapkan kawasan strategis nasional selain yang tercantum dalam Lampiran X berdasarkan criteria yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(3)Kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIONAL

Pasal 83
(1) Pemanfaatan ruang wilayah nasional berpedoman pada rencana struktur ruang dan pola ruang.
(2) Pemanfaatan ruang wilayah nasional dilaksanakan melalui penyusunan dan pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta perkiraan pendanaannya.
(3) Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 84
(1)Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) disusun berdasarkan indikasi program utama lima tahunan yang ditetapkan dalam Lampiran XI yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(2) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta, dan/atau kerja sama pendanaan.
(3) Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH NASIONAL
Bagian Kesatu
Umum

Pasal 85
(1)Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.
(2)Arahan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas:
a.indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional;
b.arahan perizinan;
c.arahan pemberian insentif dan disinsentif; dan
d.arahan sanksi.

Bagian Kedua
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Sistem Nasional

Pasal 86
(1) Indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf a digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menyusun peraturan zonasi.
(2)Indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional meliputi indikasi arahan peraturan zonasi untuk struktur ruang dan pola ruang, yang terdiri atas:
a.sistem perkotaan nasional;
b.sistem jaringan transportasi nasional;
c.sistem jaringan energi nasional;
d.sistem jaringan telekomunikasi nasional;
e.sistem jaringan sumber daya air;
f.kawasan lindung nasional; dan
g.kawasan budi daya.

Paragraf 1
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Struktur Ruang

Pasal 87
Indikasi arahan peraturan zonasi untuk sistem perkotaan nasional dan jaringan prasarana nasional disusun dengan memperhatikan:
a.pemanfaatan ruang di sekitar jaringan prasarana nasional untuk mendukung berfungsinya sistem perkotaan nasional dan jaringan prasarana nasional;
b.ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang menyebabkan gangguan terhadap berfungsinya sistem perkotaan nasional dan jaringan prasarana nasional; dan
c.pembatasan intensitas pemanfaatan ruang agar tidak mengganggu fungsi sistem perkotaan nasional dan jaringan prasarana nasional.

Paragraf 2
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Perkotaan Nasional

Pasal 88
(1) Peraturan zonasi untuk PKN disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala internasional dan nasional yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan
kegiatan ekonomi yang dilayaninya; dan
b. pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dengan tingkat intensitas pemanfaatan ruang menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya ke arah vertikal.
(2) Peraturan zonasi untuk PKW disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala provinsi yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; dan
b. pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dengan tingkat intensitas pemanfaatan ruang menengah yang kecenderungan pengembangan ruangnya ke
arah horizontal dikendalikan.
(3) Peraturan zonasi untuk PKL disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala kabupaten/kota yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya.

Pasal 89
Peraturan zonasi untuk PKSN disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan yang berdaya saing, pertahanan, pusat promosi investasi dan pemasaran, serta pintu gerbang internasional dengan fasilitas
kepabeanan, imigrasi, karantina, dan keamanan; dan
b. pemanfaatan untuk kegiatan kerja sama militer dengan negara lain secara terbatas dengan memperhatikan kondisi fisik lingkungan dan sosial budaya masyarakat.

Paragraf 3
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi
untuk Sistem Jaringan Transportasi Nasional

Pasal 90
Peraturan zonasi untuk jaringan jalan nasional disusun dengan memperhatikan:
a.pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan nasional dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;
b.ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan nasional; dan
c.penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan nasional yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan.

Pasal 91
Peraturan zonasi untuk jaringan jalur kereta api disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api dilakukan dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;
b. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan transportasi perkeretaapian;
c.  pembatasan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat lalu lintas kereta api di sepanjang jalur kereta api;
d. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dan jalan; dan
e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api dengan memperhatikan dampak lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api.

Pasal 92
(1)Peraturan zonasi untuk jaringan transportasi sungai, danau, dan penyeberangan disusun dengan memperhatikan:
a. keselamatan dan keamanan pelayaran;
b. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan;
c. ketentuan pelarangan kegiatan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan; dan
d.  pembatasan pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan.
(2) Pemanfaatan ruang di dalam dan di sekitar pelabuhan sungai,danau, dan penyeberangan harus memperhatikan kebutuhan ruang untuk operasional dan pengembangan kawasan
pelabuhan.
(3) Pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 93
(1) Peraturan zonasi untuk pelabuhan umum disusun dengan memperhatikan:
a.  pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan;
b.  ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas badan air yang berdampak pada keberadaan jalur transportasi laut; dan
c. pembatasan pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Peraturan zonasi untuk alur pelayaran disusun dengan memperhatikan:
a.  pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang alur pelayaran dibatasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar badan air di sepanjang alur pelayaran dilakukan dengan tidak mengganggu aktivitas pelayaran.

Pasal 94
(1) Peraturan zonasi untuk bandar udara umum disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional Bandar udara;
b. pemanfaatan ruang di sekitar bandar udara sesuai dengan kebutuhan pengembangan bandar udara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. batas-batas Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan dan batas-batas kawasan kebisingan.
(2) Peraturan zonasi untuk ruang udara untuk penerbangan disusun dengan memperhatikan pembatasan pemanfaatan ruang udara yang digunakan untuk penerbangan agar tidak
mengganggu sistem operasional penerbangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan.

Paragraf 4
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi
untuk Sistem Jaringan Energi Nasional

Pasal 95
(1) Peraturan zonasi untuk jaringan pipa minyak dan gas bumi disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang disekitar jaringan pipa minyak dan gas bumi harus memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan kawasan di sekitarnya.
(2) Peraturan zonasi untuk pembangkit tenaga listrik disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit listrik harus memperhatikan jarak aman dari
kegiatan lain.
(3) Peraturan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik disusun dengan memperhatikan ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 5

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi
untuk Sistem Jaringan Telekomunikasi Nasional

Pasal 96
Peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk penempatan stasiun bumi dan menara pemancar telekomunikasi yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya.

Paragraf 6
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi
untuk Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 97
Peraturan zonasi untuk sistem jaringan sumber daya air pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan:
a.pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan; dan
b.pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai lintas Negara dan lintas provinsi secara selaras dengan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai di negara/provinsi yang berbatasan.

Pasal 98
Peraturan zonasi untuk kawasan lindung dan kawasan budi daya disusun dengan memperhatikan:
a.pemanfaatan ruang untuk kegiatan pendidikan dan penelitian tanpa mengubah bentang alam;
b.ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang membahayakan keselamatan umum;
c.pembatasan pemanfaatan ruang di sekitar kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana alam; dan
d.pembatasan pemanfaatan ruang yang menurunkan kualitas fungsi lingkungan.

Paragraf 7
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Kawasan Lindung Nasional

Pasal 99
(1)Peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung disusun dengan memperhatikan:
a.  pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam;
b. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi;dan
c. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budidaya hanya diizinkan bagi penduduk asli dengan luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan, dan di bawah pengawasan ketat.
(2) Peraturan zonasi untuk kawasan bergambut disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam;
b. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi merubah tata air dan ekosistem unik; dan
c. pengendalian material sedimen yang masuk ke kawasan bergambut melalui badan air.
(3) Peraturan zonasi untuk kawasan resapan air disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;
b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan
c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya.

Pasal 100
(1) Peraturan zonasi untuk sempadan pantai disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi;
c.  pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai;
d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c; dan
e. ketentuan pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika kawasan.
(2) Peraturan zonasi untuk sempadan sungai dan kawasan sekitar danau/waduk disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi; dan
d. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Peraturan zonasi untuk ruang terbuka hijau kota disusun dengan memperhatikan:
a.  pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi;
b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya;dan
c. ketentuan pelarangan pendirian bangunan permanen selain yang dimaksud pada huruf b.


Pasal 101
(1) Peraturan zonasi untuk kawasan suaka alam, suaka alam laut dan perairan lainnya disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata alam;
b. pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam;
c. ketentuan pelarangan pemanfaatan biota yang dilindungi peraturan perundang-undangan;
d. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengurangi daya dukung dan daya tampung lingkungan; dan
e. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat merubahbentang alam dan ekosistem.
(2) Peraturan zonasi untuk suaka margasatwa, suaka margasatwa laut, cagar alam, dan cagar alam laut disusun dengan memperhatikan:
a.  pemanfaatan ruang untuk penelitian, pendidikan, dan wisata alam;
b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c; dan
e. ketentuan pelarangan terhadap penanaman flora dan pelepasan satwa yang bukan merupakan flora dan satwa endemik kawasan.
(3) Peraturan zonasi untuk kawasan pantai berhutan bakau disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan pendidikan, penelitian, dan wisata alam;
b. ketentuan pelarangan pemanfaatan kayu bakau; dan
c. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengubah mengurangi luas dan/atau mencemari ekosistem bakau.
(4) Peraturan zonasi untuk taman nasional dan taman nasional laut disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubahbentang alam;
b. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budidaya hanya diizinkan bagi penduduk asli di zona penyangga dengan luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan, dan di bawah pengawasan ketat;
c. ketentuan pelarangan kegiatan budi daya di zona inti; dan
d. ketentuan pelarangan kegiatan budi daya yang berpotensi mengurangi tutupan vegetasi atau terumbu karang di zona penyangga.
(5) Peraturan zonasi untuk taman hutan raya disusun dengan memperhatikan:
a.  pemanfaatan ruang untuk penelitian, pendidikan, dan wisata alam;
b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
d.  ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c.
(6) Peraturan zonasi untuk taman wisata alam dan taman wisata alam laut disusun dengan memperhatikan:
a.  pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;
b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c.
(7) Peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan disusun dengan memperhatikan:
a.  pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata;dan
b.  ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan.

Pasal 102
(1) Peraturan zonasi untuk kawasan rawan tanah longsor dan kawasan rawan gelombang pasang disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik,  jenis, dan ancaman bencana;
b.  penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan
c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum.
(2) Untuk kawasan rawan banjir, selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan zonasi disusun denganmemperhatikan:
a.  penetapan batas dataran banjir;
b.  pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah;dan
c.  ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum penting lainnya.

Pasal 103
(1) Peraturan zonasi untuk cagar biosfer disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan untuk pariwisata tanpa mengubah bentang alam;
b. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam; dan
c. pengendalian kegiatan budi daya yang dapat merubah bentang alam dan ekosistem.
(2) Peraturan zonasi untuk ramsar disusun dengan memperhatikan peraturan zonasi untuk kawasan lindung.
(3) Peraturan zonasi untuk taman buru disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan untuk kegiatan perburuan secara terkendali;
b. penangkaran dan pengembangbiakan satwa untuk perburuan;
c. ketentuan pelarangan perburuan satwa yang tidak ditetapkan sebagai buruan; dan
d. penerapan standar keselamatan bagi pemburu dan masyarakat di sekitarnya.
(4) Peraturan zonasi untuk kawasan perlindungan plasma nutfah disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;
b. pelestarian flora, fauna, dan ekosistem unik kawasan; dan
c. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam.
(5) Peraturan zonasi untuk kawasan pengungsian satwa disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;
b. pelestarian flora dan fauna endemik kawasan; dan
c. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam.
(6) Peraturan zonasi untuk terumbu karang disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan untuk pariwisata bahari;
b. ketentuan pelarangan kegiatan penangkapan ikan dan pengambilan terumbu karang; dan
c. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf b yang dapat menimbulkan pencemaran air.
(7) Peraturan zonasi untuk kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi disusun dengan memperhatikan:
a. ketentuan pelarangan penangkapan biota laut yang dilindungi peraturan perundang-undangan; dan
b. pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan untuk mempertahankan makanan bagi biota yang bermigrasi.

Pasal 104
(1) Peraturan zonasi untuk kawasan keunikan batuan dan fosil disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan untuk pariwisata tanpa mengubah bentang alam;
b. ketentuan pelarangan kegiatan pemanfaatan batuan; dan
c. kegiatan penggalian dibatasi hanya untuk penelitian arkeologi dan geologi.
(2) Peraturan zonasi untuk kawasan keunikan bentang alam disusun dengan memperhatikan pemanfaatannya bagi pelindungan bentang alam yang memiliki ciri langka dan/atau
bersifat indah untuk pengembangan ilmu pengetahuan, budaya, dan/atau pariwisata.
(3) Peraturan zonasi untuk kawasan keunikan proses geologi disusun dengan memperhatikan pemanfaatannya bagi pelindungan kawasan yang memiki ciri langka berupa proses geologi tertentu untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan/atau pariwisata.

Pasal 105
Peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam geologi disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana;
b.  penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan
c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum.

Pasal 106
(1) Peraturan zonasi untuk kawasan imbuhan air tanah disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;
b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan
c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya.
(2) Peraturan zonasi untuk kawasan sempadan mata air disusun dengan memperhatikan:
a.  pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan
b. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air.

Paragraf 8
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Kawasan Budi Daya

Pasal 107
Peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi dan hutan rakyat disusun dengan memperhatikan:
a. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya kehutanan;
b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan; dan
c. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf b.

Pasal 108
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian disusun dengan memperhatikan:
a.  pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah; dan
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budi daya non pertanian kecuali untuk pembangunan system jaringan prasarana utama.


Pasal 109
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan perikanan disusun dengan memperhatikan:
a.pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dan/atau nelayan dengan kepadatan rendah;
b.pemanfaatan ruang untuk kawasan pemijahan dan/atau kawasan sabuk hijau; dan
c.pemanfaatan sumber daya perikanan agar tidak melebihipotensi lestari.

Pasal 110
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertambangan disusun dengan memperhatikan:
a. pengaturan pendirian bangunan agar tidak mengganggu fungsi alur pelayaran yang ditetapkan peraturan perundang-undangan;
b. pengaturan kawasan tambang dengan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara risiko dan manfaat; dan
c. pengaturan bangunan lain disekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan yang berpotensi menimbulkan bahaya dengan memperhatikan kepentingan daerah.

Pasal 111
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan industri disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri baik yang sesuai dengan kemampuan penggunaan teknologi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah sekitarnya; dan
b. pembatasan pembangunan perumahan baru sekitar kawasan peruntukan industri.

Pasal 112
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pariwisata disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan;
b. perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau;
c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pariwisata; dan
d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c.

Pasal 113
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan permukiman disusun dengan memperhatikan:
a. penetapan amplop bangunan;
b. penetapan tema arsitektur bangunan;
c. penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan; dan
d. penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan.

Bagian Ketiga
Arahan Perizinan

Pasal 114
(1) Arahan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat
(2) huruf b merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan rencana struktur dan pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pemberian izin pemanfaatan ruang yang berdampak besar dan penting dikoordinasikan oleh Menteri.
Bagian Keempat
Arahan Insentif dan Disinsentif

Pasal 115
(1)Arahan pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf c merupakan acuan bagi pemerintah dalam pemberian insentif dan pengenaan
disinsentif.
(2)Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola ruang, dan indikasi arahan peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini.
(3)Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 116
(1)Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah nasional dilakukan oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah dan kepada masyarakat.
(2)Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 117
(1) Insentif kepada pemerintah daerah diberikan, antara lain, dalam bentuk:
a.  pemberian kompensasi;
b. urun saham;
c. pembangunan serta pengadaan infrastruktur; atau
d. penghargaan.

(2) Insentif  kepada masyarakat diberikan, antara lain, dalam bentuk:
a. keringanan pajak;
b. pemberian kompensasi;
c. imbalan;
d. sewa ruang;
e.  urun saham;
f. penyediaan infrastruktur;
g. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
h. penghargaan.

Pasal 118
(1) Disinsentif  kepada pemerintah daerah diberikan, antara lain, dalam bentuk:
a. pembatasan penyediaan infrastruktur;
b. pengenaan kompensasi; dan/atau
c. penalti.
(2) Disinsentif dari Pemerintah kepada masyarakat dikenakan, antara lain, dalam bentuk:
a.  pengenaan pajak yang tinggi;
b. pembatasan penyediaan infrastruktur;
c. pengenaan kompensasi; dan/atau
d. penalti.

Pasal 119
(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dikoordinasikan oleh Menteri.

Bagian Kelima
Arahan Sanksi

Pasal 120
Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf d merupakan acuan dalam pengenaan sanksi terhadap:
a.pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah nasional;
b.pelanggaran ketentuan arahan peratuan zonasi system nasional;
c.pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWN;
d.pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWN;
e.pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWN;
f.pemanfataan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau
g.pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.

Pasal 121
(1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif berupa:
a.  peringatan tertulis;
b.  penghentian sementara kegiatan;
c.  penghentian sementara pelayanan umum;
d.  penutupan lokasi;
e.  pencabutan izin;
f.  pembatalan izin;
g.  pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i.  denda administratif.
(2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf c dikenakan sanksi administratif berupa:
a.  peringatan tertulis;
b.  penghentian sementara kegiatan;
c.  penghentian sementara pelayanan umum;
d.  penutupan lokasi;
e.  pembongkaran bangunan;
f.  pemulihan fungsi ruang; dan/atau
g.  denda administratif.

Pasal 122
Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administrative diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri.

BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 123
(1)Untuk operasionalisasi RTRWN, disusun rencana rinci tata ruang yang meliputi:
a.  rencana tata ruang pulau/kepulauan; dan
b.  rencana tata ruang kawasan strategis nasional.
(2)Rencana tata ruang pulau/kepulauan disusun untuk wilayah Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara, dan
Pulau Papua.
(3)Rencana tata ruang kawasan strategis nasional disusun untuk setiap kawasan strategis nasional.
(4)Rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 124
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang nasional tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 125
RTRWN ini berlaku selama 20 (duapuluh) tahun.

Pasal 126
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 127
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar . . .Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Maret 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 48


Tidak ada komentar:

Posting Komentar